D. Zawawi Imron
[Minggu, 28 Desember 2008]
Di jalan menanjak antara Padangpanjang-Bukittinggi, Sumatra Barat, saya dan novelis Ahmad Tohari menjadi sastrawan tamu selama satu bulan di Rumah Puisi yang didirikan penyair Taufiq Ismail dan istrinya, Ati Ismail. Sampai hari ini saya telah sepuluh hari berada di antara Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, tempat kabut dan hawa dingin menyelimuti kami setiap hari. Tempat kami selalu disapa desir daun-daun bambu, dan di depan sana ada petani-petani sayur yang tekun memakmurkan bumi.
Kami berdua benar-benar berada di tempat yang indah. Memandang ke Gunung Singgalang yang gagah, di kakinya tampak nagari Pandai Sikek, tempat orang Minangkabau menenun kain songket yang indah. Bahkan azan subuh di desa itu bagai diantar angin ke Rumah Puisi.
Sedangkan memandang ke Gunung Merapi tampak sawah-sawah yang bertingkat-tingkat dan rumah-rumah para petani yang kalau malam hari lampu-lampunya berkelap-kelip mewakili bintang-bintang yang selalu ditutupi awan. Inilah wilayah yang selalu dilewati Hamka, Marah Rusli, Noer Sutan Iskandar. Haji Agus Salim, Muhamamd Yamin, Muhammad Hatta, Rasuna Said, Rohana Kudus, Tan Malaka, seratus tahun yang lalu. Saya dan Ahmad Tohari seperti menapaktilasi kelincahan masa kecil mereka yang cerdas, berpikir lincah, dan tidak mudah menyerah, sehingga namanya sampai sekarang tetap dibaca oleh sejarah dan jadi kenangan yang mengesankan.
Rumah Puisi sendiri adalah bangunan berbentuk sanggar, ada perpustakaan dengan 7.000 buku, ada ruang pelatihan untuk guru-guru sastra sekaligus ruang berdialog tentang puisi, sastra, dan yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Jadi, istilah ''rumah puisi'' di sini tidak hanya untuk kegiatan perpuisian saja, tapi untuk seluruh yang berkaitan dengan sastra. Pinjam istilah Taufiq Ismail, ''puisi'' di sini menjadi kata sifat: bersama dan payung dari seluruh karya sastra.
Yang telah berlangsung selama sepuluh hari kami di sana adalah pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Taufiq Ismail dan para sastrawan untuk duduk bersama para guru sastra. Bagaimana mengajar sastra yang menarik kepada anak didik, bagaimana menumbuhkan minat baca dan memotivasi anak-anak untuk senang menulis.
Kegiatan yang lain ialah apresiasi sastra siswa, agar anak didik bisa menyenangi karya sastra, bisa mengapresiasi dengan baik, bahkan menumbuhkan minat menulis agar mereka menjadi generasi penerus dalam perkembangan sastra Indonesia.
Apa yang dilakukan Taufiq Ismail selama kurang lebih 10 tahun terakhir berkeliling Indonesia memasyarakatkan sastra itu sekarang coba dicarikan tempat yang permanen. Upaya ini untuk lebih memberi harkat kepada sastra karena sastra sesungguhnya menjadi salah satu ruh dari tulang punggung kebudayaan. Kegiatan yang telah berlangsung di Rumah Puisi benar-benar mendapat sambutan hangat dari guru-guru sastra dan para siswa penggemar sastra. Mereka berdatangan dari seluruh Sumatra Barat untuk bertemu sastrawan-sastrawan, membaca puisi, menceritakan proses kreatifnya. Bagaimana riwayat perjuangannya serta liku-liku hidupnya sehingga menjadi sastrawan. Kemudian guru-guru sastra atau siswa, bertanya tentang puisi, novel, dan kiat menjadi penulis atau sastrawan.
Suasana sengaja dibuat akrab, sehingga tidak terkesan sebagai sebuah pelatihan, karena sastrawan yang tampil tidak berpretensi sebagai pengajar atau penatar. Bahkan kegiatan untuk para siswa pun dikemas dalam suasana penuh persahabatan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Selebihnya, sebagai sastrawan tamu, saya dan Ahmad Tohari, dipersilahkan untuk berkeliling Sumatra Barat, berintegrasi dengan masyarakat, mengunjungi tempat lahir Buya Hamka, Bung Hatta, Haji Agus Salim, dan lain-lain, dan kemudian menuliskannya.
Saya dan Ahmad Tohari diundang ke Ranah Minang, merasa mendapat kehormatan. Kegiatan sastra yang kami lakukan selama ini telah mengantarkan kami ke wilayah Indonesia yang indah, dengan keramahan Danau Singkarak dan Danau Maninjau, serta Istana Pagaruyung yang legendaris.
Tak mungkin kami lupakan bahwa kami telah menjadi tamu di jantung puisi Ranah Minang, di sebuah desa bernama Aie Angek. (*)
Memihak Kehidupan
Di Rumah Puisi, di tengah alam tanah Minang yang permai, saya merenungkan adagium Minangkabau yang berbunyi: alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Alam memang terkembang. Terhampar. Kenapa dijadikan guru? Bukankah manusia lebih mulia dari alam?
Dipikir dan direnung, saya teringat bahwa dalam penciptaan langit dan bumi serta perkisaran siang dan malam adalah ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah. Kalau alam ini adalah ayat-ayat Tuhan, tentu saja manusia yang ingin mengambil manfaat dari alam harus rajin dan tekun membaca ayat-ayat Allah itu. Istilah ''membaca'' di sini bisa dimaknai mempelajari, meneliti, atau bereksperimen tentang benda-benda, flora, fauna, yang ada di alam. Karena semua kebutuhan hidup manusia itu tersedia di alam, maka manusia harus bersahabat dengan alam. Jadi, manusia bersekolah dan belajar di perguruan tinggi tidak lain belajar ''membaca'' alam dalam pengertian yang seluas-luasnya.
Sejak kapan orang Minangkabau mencetuskan kearifan alam takambang jadi guru? Tak ada keterangan yang jelas. Yang jelas, manusia yang mencetuskan itu adalah seorang yang cerdas dan arif. Dengan demikian, manusia yang membaca alam dengan ilmu pertanian akan mampu menyemarakkan bumi dengan bercocok tanam sehingga akan memakmurkan bumi. Yang membaca laut dengan ilmu kelautan akan mampu mengarungi samudera serta menangkap ikan di laut untuk menjadi santapan bangsanya. Selanjutnya ada orang yang menanam kapas, di pihak lain ada yang memintal kapas menjadi beanng dan kemudian ditenun untuk dijadikan pakaian agar manusia tidak telanjang.
Semua kegiatan kehidupan itu karena alam yang terkembang dijadikan guru. Adagium Minangkabau tersebut bisa dimasukkan kepada kearifan tradisi. Meskipun itu warisan lama, tetapi masih relevan dengan kehidupan sekarang. Orang pergi ke bulan dan ke planet-planet lain juga merupakan upaya mengejar alam yang terkembang, dan terkembang untuk dipelajari dan diteliti.
Yang menarik dari kearifan ini, ia bisa menjadi alasan bahwa tidak setiap adagium lama itu rapuh dan tidak sesuai dengan kehidupan masa kini. Ternyata masih ada kearifan tua --kalau kita berpikir dengan akal sehat-- yang tak lekang de' panas dan tak lapuk de' hujan.
Contoh lain dalam membaca dan menghargai alam, misalnya, ada adagium Jawa yang berbunyi memayu hayuning bhawana, ''memperindah kecantikan alam'', sebagai tugas manusia di bumi. Alam yang dirias dengan aneka macam tanaman, lebih-lebih tanaman produktif, akan membuat bumi itu indah dengan kesuburan dan kemakmuran. Yang tersirat pada kearifan itu, manusia harus bersahabat dengan alam. Kalau alam itu ditanami, kemudian tanaman itu disiangi dan dipupuk dengan rajin dan cinta, alam akan membalas dengan panen yang melimpah, atau kemakmuran yang akan membuat alam dan manusia tersenyum dalam persahabatan yang hakiki. Persahabatan yang bukan hanya ideal di dalam hati dan dalam nyanyian, tetapi persahabatan dalam bentuk nyata yang membuahkan kesejahteraan yang konkret.
Penghargaan manusia kepada alam dan tumbuh-tumbuhan tidak lain adalah penghormatan terhadap hidup, karena manusia yang hidup harus menghormati semua yang hidup. Penghargaan terhadap tumbuh-tumbuhan yang menyuburkan bisa kita lihat pada relief Candi Borobudur. Aneka macam flora bisa disaksikan di situ melengkapi kehadiran manusia.
Pada dunia Arab yang tanahnya didominasi padang pasir, lahir ornamen arabesque yang ditandai dengan flora berupa sulur-sulur lengkap dengan variasi daun dan bunga yang beraneka ragam coraknya. Pada bagian lukisan klasik Tiongkok, kita temukan sebatang bambu lengkap dengan ranting dan daunnya yang tertiup angin. Dalam tiupan angin yang kencang itu batang bambu tampak melengkung, tetapi tidak patah karena hidup harus dipertahankan, meskipun ujian datang bertubi-tubi.
Begitulah sebagian besar karya seni, sejak dahulu kala menunjukkan kecintaannya dan keperpihakannya kepada semua yang hidup lewat berbagai isyarat dan metafora. Hal itu menjadi pertanda bahwa sejak kemanusiaan dan akal sehat berkembang, manusia punya rasa cinta dan keperpihakan terhadap hidup dan alam lingkungan. Hal inilah yang sangat penting untuk dikaji dan dihidupkan kembali sekarang, di tengah-tengah perusakan lingkungan, pembalakan liar, pencemaran laut, dan lain-lain. Alam yang dicederai dan dirusak tidak mau bersahabat dengan kita. Merebaknya banjir, rusaknya ozon, semburan lumpur, rusaknya habitat fauna di hutan dan lain-lain, menjadi sejenis sinyal bahwa alam sudah tidak ramah lagi kepada kita, dan itu karena ulah kita sendiri.
Penghormatan dan keperpihakan kepada hidup juga menghargai jiwa dan nyawa manusia. Adanya kerusuhan, penjarahan, dan perang yang membunuh banyak manusia, menunjukkan tidak adanya penghormatan dan keperpihakan terhadap hidup. Jadi, manusia yang suka berperang untuk kemenangan, tidak untuk membela kebenaran, kemerdekaan, dan keadilan, sebenarnya yang diperangi adalah kemanusiaan itu sendiri. (*)
PERANG
[JP Online Minggu, 25 Januari 2009]
Dalam sebuah tayangan televisi, saya pernah menyaksikan seekor kijang yang dikejar beberapa ekor harimau di atas padang sabana yang sangat luas. Kijang yang akan dimangsa itu lari sekencang-kencangnya, agar selamat. Tapi si predator tidak kalah kencang. Mungkin karena dipacu oleh kelaparan akhirnya salah seekor harimau itu berhasil menerkam si kijang. Dalam waktu beberapa menit saja tubuh kijang itu sudah tidak bernyawa.
Saya merasa ngeri melihat kekerasan yang terjadi dalam dunia kebinatangan. Meskipun, hal yang demikian itu mungkin bisa dianggap wajar karena akal dan perasaan binatang tidak lengkap dan sempurna seperti manusia. Binatang tidak punya belas dan kasih sayang sebagaimana dimiliki oleh manusia.
Tetapi, setelah melihat kenyataan, kekerasan yang dilakukan harimau terhadap kijang atau yang dilakukan burung elang terhadap puyuh dan kelinci, ternyata ada yang lebih ganas lagi. Perhatikan film The Killing Filds yang dibintangi Dip Pranh pada 1980-an. Film itu menceritakan pembantaian besar-besaran ketika terjadi perang antara tentara Amerika dengan pejuang Vietnam. Nyawa manusia sudah dianggap tidak berharga dan darah anak cucu Adam menjadi sejenis sampah. Sungguh mengerikan!
Pelaku kekerasan yang disebut ''perang'' itu tidak lain adalah manusia, makhluk yang secara budaya dianggap punya pikiran cerdas dan perasaan yang mendalam. Pada akhir 1970-an, setelah saya membaca buku-buku tentang filsafat, budaya, dan aneka majalah, saya pikir tidak akan ada perang lagi di dunia ini. Saya yakin, dengan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan modern, manusia pasti akan dipandu oleh ilmu dan akal sehatnya untuk menghentikan kebiadaban yang disebut perang. Nyatanya tidak. Ilmu pengetahuan tentang hidup dan kemanusiaan tidak sepenuhnya bisa menyetop perang. Bahkan senjata canggih, mulai senapan mesin sampai bom pemusnah masal masih juga dibuat orang. Negara��-negara maju masih terus menggalakkan pabrik senjata baik untuk dipakai sendiri maupun untuk dijual kepada negara-negara yang siap untuk berperang.
Hal ini bisa menjadi catatan bahwa istilah ''maju'' bagi suatu bangsa atau negara lebih berorientasi kepada kemajuan fisik atau kemakmuran material saja. Kalau istilah maju itu diorientasikan pada peningkatan martabat kemanusiaan yang oleh orang Barat disebut ''humanisme'', tentu saja perang tidak terus berlangsung sampai sekarang.
Orang yang memihak kepada nurani kemanusiaan, pasti akan merasa ngeri melihat korban-korban perang, baik yang sudah mati maupun yang terluka. Bisa dibayangkan ngerinya perang. Rakyat sipil yang tidak tahu persoalan tiba-tiba kena letusan bom sehingga salah satu anggota tubuhnya hilang untuk selamanya. Atau seorang anak kecil yang belum berumur 10 tahun, harus kehilangan ibu tercinta di samping ia sendiri harus terbaring di rumah sakit karena salah satu kakinya buntung. Ribuan orang dan anak-anak harus menderita akibat kekerasan dan keganasan manusia. Inilah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Kerja kebudayaan antara lain adalah menanamkan rasa percaya kepada kemanusiaan. Tapi, bagaimana orang percaya kepada kemanusiaan, kalau perang terus berlangsung dan itu dikomando oleh orang-orang cerdik pandai. Bahkan PBB pun tak terlalu didengar oleh para pelaku perang. Pada 1970-an penyair Taufiq Ismail membuat pepatah petitih baru untuk mencermati persidangan PBB.
Duduk sama rendah
Berdiri lain-lain tingginya
Taufiq seperti menggugat ''hak veto'' dalam persidangan PBB yang dirasakan kurang demokratis. Tidak mustahil beberapa persidangan masalah perang di PBB kadang jauh dari rasa keadilan.
Perang biasanya ditentukan oleh pemimpin tertinggi dalam satu negara. Kalau seorang kepala negara berjiwa lembut seperti Mahatma Gandhi, barangkali tak begitu banyak terjadi penyerangan terhadap negeri lain. Jiwa Gandhi adalah ''kemanusiaan" yang mengutamakan cinta kasih. Manusia tidak boleh menjadi serigala bagi manusia lainnya. (*)
ParaDIsE.group
0 komentar :
Silakan tulis seperlunya;
Boleh komentar, saran/masukan, nasihat, usul, dsc. Semoga saya dapat menanggapi dengan baik.